Menurut kesepakatan World Economic Forum tahun 2015, terdapat enam jenis literasi penting yang harus dimiliki masyarakat, yaitu: literasi baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Seluruhnya sangat dibutuhkan agar masyarakat siap menghadapi tantangan global.
Di era digitalisasi, arus informasi bergerak begitu masif. Tanpa kecakapan literasi, masyarakat rentan menjadi korban informasi palsu atau hoaks. Salah satu contoh nyata adalah rendahnya literasi finansial. Banyak masyarakat terjerumus ke investasi ilegal, pinjaman online, bahkan judi online.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat, sepanjang kuartal pertama tahun 2024, transaksi judi online mencapai Rp 110 triliun. Ironisnya, sekitar 80 ribu anak di bawah usia 10 tahun atau 11 persen ikut menjadi pengguna. Kondisi ini dinilai sangat mengkhawatirkan.
Beragam dampak negatif pun muncul, mulai dari kecanduan, kerugian finansial, hingga gangguan kesehatan mental seperti stres dan depresi. Untuk menekan angka tersebut, pemerintah bersama OJK telah memblokir lebih dari 8 ribu rekening yang terindikasi terkait judi online hingga Oktober 2024.
Lalu, apa yang bisa dilakukan masyarakat agar tidak terjebak dalam produk keuangan ilegal?
Sederhana, gunakan prinsip 2L: Legal dan Logis. Legal artinya, pastikan produk atau layanan memiliki izin resmi. Sedangkan Logis, berarti penawaran yang diberikan masuk akal dan bukan janji berlebihan.
Survei Nasional Literasi Keuangan mengungkap, masih banyak masyarakat Indonesia yang sudah memakai produk keuangan namun belum memahami cara kerjanya. Karena itu, masyarakat diimbau untuk membiasakan mencatat pemasukan dan pengeluaran, menyisihkan dana darurat, serta mengenali berbagai produk keuangan seperti tabungan, investasi, dan asuransi.
Edukasi finansial sejak usia dini menjadi kunci utama. Dengan membiasakan hidup sederhana, menjauhi gaya hidup konsumtif, dan selalu bersyukur, kecakapan literasi finansial akan tumbuh, sehingga masyarakat lebih terlindungi dari jebakan keuangan yang merugikan